KUSTA
PENDAHULUAN
Kusta termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa India kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum Masehi. Kata lepra disebut dalam kitab Injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Ternyata bahwa pelbagai deskripsi mengenai penyakit ini sangat kabur, apabila dibandingkan dengan kusta yang kits kenal sekarang.
DEFINISI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.
SINONIM
Lepra, morbus Hansen
EPIDEMIOLOGI
Masalah epidermiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dad suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai seat ini belum jelas benar.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk pemecahannya.
Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifat-sifat M. leprae. Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. penderita yang mengandung M. leprae sampai 103 per gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan.
Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak nengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun di dapatkan ± 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 2535 tahun.
Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Ada variasi reaksi terhadap infeksi M. leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum dan lain-lain) di pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik yang berbeda.
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pads tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1 kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah menurun 85% di sebagian besar negara atau wilayah endemis. Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 1997 kurang lebih 890.000 penderita. Walaupun penyakit ini masih merupakan problem kesehatan masyarakat di 55 negara atau wilayah, 91% dari jumlah kasus berada di 16 negara, dan 82%-nya di 5 negara yaitu Brazil, India, Indonesia, Myanmar, dan Nigeria. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat pads akhir Maret 1997 adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata, yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Prevalensi di Indonesia per 10.000 penduduk adalah 1,57.
Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di rajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anastetik disertai paralisis dan atrofi otot.
ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai bekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif.
PATOGENESIS
Pada tahun 1960 Shepard berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen, bentuk lesi maupun negara asal penderita, ternyata tidak ada perbedaan spesies. Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M. leprae yang disuntikan dan kalau melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan perkembang biakan.
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi (900 r), sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma penuh basil terutama di bagian tubuh yang relatif dingin, yaitu hidung, cuping telinga, kaki, dan ekor. Basil tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi, berarti memenuhi salah satu postulat Koch, meskipun belum seluruhnya dapat dipenuhi.
Sebenamya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selulamya daripada intensitasnya infeksinya.
GEJALA KLINIS
Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan histopatologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14 hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, yang hasilnya barn dapat diketahui setelah 3 minggu. Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.
Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa.
Perbenihan
M.leprae merupakan salah satu bakteri yang tidak memenuhi Postulat Koch karena tidak dapat dibiakkan pada media buatan. Pada tahun 1960, Shepard dapat membiakkan bakteri ini pada telapak kaki tikus putih dan dapat ditularkan pada tikus lain tanpa perubahan morfologi dan virulensinya.
Waktu generasi (generation time) bakteri ini 20-30 hari yang merupakan waktu generasi bakteri yang terpanjang. Oleh karena itu, untuk membiakkan mikroorganisme ini diperlukan waktu inkubasi yang panjang. Pada kondisi yang ideal pada, telapak kaki tikus putih diperlukan 5-10 bulan, sedang, pada manusia 10-12 tahun.
Struktur antigen
Penderita lepra memberikan hasil positif pada tes kulit yang dilakukan dengan penyuntikan intrakutan dari antigen yang dibuat dari nodul lepromatous. Tes ini disebut tes lepromin. Cara melakukan tes lepromin seperti halnya pada tes tuberkulin. Tes lepromin merupakan tes imunologis yang spesifik dan digunakan untuk:
1. mengetahui ketahanan hospes terhadap M.leprae,
2. menentukan prognosis penyakit lepra,
3. membantu menegakkan diagnosis penyakit lepra, dan
4. mengetahui hasil pengobatan terhadap penyakit lepra.
Cara membuat antigen yang klasik adalah dengan cara berikut.
· Jaringan nodul lepromatus digerus sampai seperti pasta, kemudian dilarutkan dalam garam faali 20 ml/ gram pasta. Supernatan yang diperoleh disaring dan disterilkan dengan autoklaf (120°C selama 15 menit, kemudian diawetkan menggunakan larutan fenol 0,5%. Untuk tes lepromin, digunakan 0,1-0,2 ml yang disuntikkan secara intrakutan pada bagian voler lengan bawah.
Hasil dari tes lepromin dibaca sebagai berikut.
1. Early Fernandez reaction (dibaca setelah 48 jam)
Reaksi timbul cepat dalam waktu 24-48 jam. Dikatakan positif bila terdapat eritema dan indurasi, dan dikatakan negatif bila hanya timbul eritema saja atau tidak ada perubahan pada tempat suntikan.
2. Delayed Mitsuda reaction (dibaca setelah 4-6 minggu)
Hasil positif apabila terdapat papula kecil yang timbul setelah 7-10 hari, kemudian berubah menjadi papula besar dan selanjutnya menjadi nodul dengan diameter 1 cm. Hasil negatif, apabila tidak ada reaksi lokal, atau reaksi lokal yang positif berubah menjadi negatif. Reaksi yang tertunda (delayed reaction) ini disebabkan adanya basil lepra yang utuh.
Untuk tes lepromin sekarang, digunakan antigen yang lebih spesifik yang disebut antigen Darmendra. Darmendra menemukan adanya protein, polisakarida, dan wax pada basil lepra. Fraksi protein dari basil lepra tersebut ternyata merupakan antigen yang baik dan memberikan reaksi seperti tuberkulin dalam waktu 24-48 jam.
Evaluasi basil tes lepromin
Tes lepromin dapat digunakan untuk mengetahui daya tahan hospes 'sebab pada lepra yang ganas (malignant lepromatous) selalu diperoleh tes lepromin yang negatif, sedang pada tipe lepromatus yang dini memberikan reaksi positif dan berhubungan dengan prognosis yang baik.
Hasil tes lepromin negatif terjadi pada tipe lepromatous akut, di mana penderita dalam kondisi prealergik. Hasil tes lepromin positif, selain pada lepra dini (tipe tuberkuloid), juga dapat terjadi pada penderita tuberkulosis, juga pada anakanak yang divaksinasi BCG.
Dari percobaan Fernandez telah dibuktikan bahwa terdapat reaksi silang antara tes lepromin dengan vaksin BCG. Percobaan Fernandez ini dilakukan dengan cara memberikan vaksinasi BCG kepada sejumlah anak yang menunjukan tes lepromin dan test tuberculin negative. Setelah 1 bulan, dilakukan tes lepromin dan tes tuberculin pada anak-anak tersebut; ternyata hasilnya menunjukan 99% test tuberculin positif dan 92% tes lepromin positif.
Diagnosis Laboratorium
Untuk diagnosis laboratorium, digunakan bahan pemeriksaan yang diambil dari:
1. Kerokan lesi kulit,
2. Mukosa septum nasi, dan
3. Serum Reitz dari cuping telinga.
Cara pemeriksaan dari kerokan lesi kulit adalah sebagai berikut:
· kulit dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian dikeringkan,
· kulit diregangkan dengan tangan dan dikerok menggunakan skalpel,
· gelas objek dilekatkan pada lesi kemudian dibiarkan mengering.
· Sediaan di fiksasi
· Dilakukan pewarnaan tahan asam